Motivasi
Pendekatan Isi
Teori
isi mengenai motivasi berfokus pada faktor-faktor dalam diri seseorang yang
mendorong, mengarahkan, mempertahankan, dan menghentikan perilaku. Mereka
berusaha menentukan kebutuhan spesifik yang memotivasi orang. Empat pendekatan
isi yang penting terhadap motivasi adalah 1) hierarki kebutuhan Maslow, 2)
teori ERG Alderfer, 3) teori dua faktor Herzberg, dan 4) teori
kebutuhan-yang-dipelajari McClelland.
1.
Hierarki
Kebutuhan Maslow
Inti
teori Maslow adalah bahwa kebutuhan tersusun dalam suatu hierarki. Kebutuhan
ditingkat yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologis, dan kebutuhan
ditingkat yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut didefinisikan sebagai berikut:
a. Fisiologis
(physiological). Kenutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, dan bebas
dari rasa sakit.
b. Keamanan
dan keselamatan (safety and security). Kebutuhan untuk bebas dari ancaman,
diartikan sebagai aman dari peristiwa atau lingkungan yang mengancam.
c. Kebersamaan,
sosial, dan cinta (belongingness, social, and love). Kebutuhan akan pertemanan,
afiliasi, interaksi, dan cinta.
d. Harga
diri (esteem). Kebutuhan akan harga diri dan rasa hormat dari orang lain.
e. Aktualisasi
diri (self-actualization). Kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri
dengan secara maksimum menggunakan kemampuan, keterampilan, dan potensi.
Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang
berusaha memuaskan kebutuhan yang mendasar (kebutuhan fisiologis) sebelum
mengarahkan perilaku mereka pada pemuasan kebutuhan ditingkat yang lebih
tinggi. Beberapa hal pokok dalam pemikiran Maslow penting kita ketahui untuk
memahami pendekatan hierarki kebutuhan.
a. Kebutuhan
yang sudah terpuaskan akan berhenti memberikan motivasi. Sebagai contoh, ketika
seseorang menganggap dirinya telah mendapatkan imbalan yang cukup karena telah
memberikan kontribusi kepada organisasi, uang kehilangan kekuatannya dalam
memberikan motivasi.
b. Kebutuhan
yang tidak terpuaskan dapat menyebabkan rasa frustasi, konflik, dan stress.
Dari perspektif manajerial, kebutuhan yang tidak terpuaskan akan berbahaya
karena kebutuhan ini mungkin menyebabkan hasil kinerja yang tidak diinginkan.
c. Maslow
mengasumsikan bahwa orang memiliki kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang, dan
sebagai akibatnya akan terus berusaha bergerak ke atas dalam hierarki untuk
memenuhi kepuasan.
2.
Teori
ERG Alderfer
Alderfer
sepakat dengan Maslow bahwa kebutuhan individu diatur dalam suatu hierarki.
Akan tetapi, hierarki kebutuhan yang dia ajukan hanya melibatkan tiga rangkaian
kebutuhan.
a. Eksistensi
(existence). Kebutuhan yang dipuaskan oleh factor-faktor seperti makanan,
udara, imbalan, dan kondisi kerja.
b. Hubungan
(relatedness). Kebutuahn yang dipuaskan oleh hubungan sosial dan interpersonal
yang berarti.
c. Pertumbuhan
(growth). Kebutuhan yang terpuaskan jika individu membuat kontribusi yang
produktif atau kreatif.
Penjelasan ERG Alderfer mengenai
motivasi memberikan teori yang menarik bagi manajer mengenai perilaku. Jika
kebutuhan bawahan dengan urutan yang lebih tinggi (misalnya pertumbuhan)
dihalangi, mungkin karena kebijakan perusahaan atau kurangnya sumber daya, ada
baiknya apabila manajer berusaha mengajarkan ulang usaha bawahan menuju
kebutuhan hubungan atau eksistensi. Teori ERG mengimplikasikan bahwa individu
termotivasi untuk terlibat dalam perilaku memuaskan salah satu dari tiga
rangkaian kebutuhan.
3.
Teori
Dua-Faktor Herzberg
Herzberg
mengembangkan teori isi yang dikenal sebagai teori motivasi dua-faktor. Kedua
faktor tersebut disebut dissatisfier-satisfier,
motivator higiene, atau faktor ekstrinsik-intrinsik, bergantung pada pembahasan
dari teori. Penelitian awal yang memancing munculnya teori ini memberikan dua
kesimpulan spesifik. Pertama, adanya serangkaian kondisi ekstrinsik, konteks
pekerjaan, yang menimbulkan ketidakpuasan antarkaryawan ketika kondisi tersebut
tidak ada. Jika kondisi tersebut ada, kondisi tersebut tidak selalu memotivasi
karyawan. Kondisi ini adalah dissatisfier atau faktor higiene, karena
faktor-faktor itu diperlukan untuk mempertahankan setidaknya suatu tingkat dari
“tidak adanya ketidakpuasan”. Factor-faktor tersebut diantaranya:
a. Gaji
b. Keamanan
pekerjaan
c. Kondisi
kerja
d. Status
e. Prosedur
perusahaan
f. Kualitas
pengawasan teknis
g. Kualitas
hubungan interpersonal antar rekan kerja, dengan atasan, dan dengan bawahan.
Kedua, serangkaian kondisi intrinsik-isi
pekerjaan-ketika ada dalam pekerjaan, dapat membentuk motivasi yang kuat hingga
dapat menghasilkan kinerja pekerjaan yang baik. Jika kondisi tersebut tidak
ada, pekerjaan tidak terbukti memuaskan. Factor-faktor dalam rangkaian ini
disebut satisfier atau motivator dan beberapa diantaranya adalah:
a. Pencapaian
b. Pengakuan
c. Tanggung
jawab
d. Kemajuan
e. Pekerjaan
itu sendiri
f. Kemungkinan
untuk tumbuh
Motivator ini secara langsung berkaitan
dengan sifat pekerjaan atau tugas itu sendiri. Ketika ada, factor-faktor ini
berkontribusi terhadap kepuasan. Hal ini, pada akhirnya akan menghasilkan
motivasi tugas intrinsic. Beberapa implikasi manajerial yang penting dari teori
Herzberg termasuk:
a. Tidak
ada ketidakpuasan kerja, kepuasan kerja tinggi. Seorang karyawan yang dibayar
dengan baik, memiliki rasa aman dengan memiliki hubungan yang baik dengan rekan
kerja dan supervisor (factor hygiene=tidak ada ketidakpuasan kerja) dan
diberikan tugas yang menantang, akan termotivasi.
b. Tidak
ada ketidakpuasan kerja, tidak ada kepuasan kerja. Seorang karyawan yang
dibayar dengan baik, memiliki keamanan pekerjaan, dan memiliki hubungan yang
baik dengan rekan kerja dan supervisor (factor hygiene ada=tidak ada
ketidakpuasan kerja), tapi tidak diberikan penugasan yang menantang dan merasa
sangat bosan dengan pekerjaannya (tidak ada motivator=tidak ada kepuasan kerja)
tidak akan termotivasi.
c. Ketidakpuasan
kerja tinggi, tidak ada kepuasan kerja. Seorang karyawan yang tidak digaji
dengan baik, memiliki keamanan pekerjaan yang rendah, memiliki hubungan yang
buruk dengan rekan kerja dan supervisor (factor hygiene tidak ada=ketidakpuasan
kerja tinggi), dan tidak diberikan penugasan yang menantang dan merasa sangat
bosan dengan pekerjaannya (motivator tidak ada=tidak ada kepuasan kerja) tidak
akan termotivasi.
4.
Teori
Kebutuhan-yang-Dipelajari McCelland
McCelland mengembangkan
serangkaian factor deskriptif yang menggambarkan seseorang dengan kebutuhan
yang tinggi akan pencapaian. Hal tersebut adalah:
a. Suka
menerima tanggung jawab untuk memecahkan masalah
b. Cenderung
menetapkan tujuan pencapaian yang moderat dan cenderung mengambil risiko yang
telah diperhitungkan
c. Menginginkan
umpan balik atas kinerja
Tema utama dari teori McCelland adalah
bahwa kebutuhan ini dipelajari melalui penyesuaian dengan lingkungan seseorang.
Karena kebutuhan dipelajari, perilaku yang mendapatkan penghargaan cenderung
lebih sering muncul. Manajer yang dihargai atas perilaku pencapaiannya belajar
mengambil risiko yang moderat dan belajar mencapai tujuan. Secara serupa, suatu
kebutuhan afiliasi atau kekuasaan yang tinggi dapat ditelusuri melalui sejarah
penerimaan penghargaan atas perilaku sosial, dominan, atau inspirasional.
Sebagai akibat proses pembelajaran, individu mengembangkan konfigurasi yang
unik dari kebutuhan yang mempengaruhi perilaku dan kinerja.
Pola Kepemimpinan
Gaya-Gaya Kepemimpinan
1. Kepemimpinan Otokrasi (autocratic
leadership) berpusat pada atasan. Para pemimpin
otokrasi melakukan pengambilan keputusan sendiri tanpa berkonsultasi dengan
para karyawannya. Mereka menghasilkan keputusan, mengomunikasikannya kepada
bawahan, dan mengharapkan implementasi atas instruksi mereka dengan segera.
Seorang manajer penjualan yang otokrasi mungkin akan memberikan kuota kepada
masing-masing agen penjualan tanpa berkonsultasi dengan mereka terlebih dahulu.
2. Kepemiminan Demokratis (democratic
leadership) melibatkan bawahan dalam pengambilan
keputusan. Berlokasi ditengah-tengah rangkaian, gaya kepemimpinan ini berpusat
pada kontribusi para karyawan. Pemimpin yang demokratis akan mendelegasikan
pekerjaan, meminta saran dari karyawan, dan mendorong partisipasi. Tren penting
yang sedang berkembang di dunia bisnis dalam decade terakhir ini adalah konsep
pemberdayaan (empowerment), suatu praktik dimana manajer memimpin karyawan
dengan membagi kekuasaan, tanggung jawab, dan pengambilan keputusannya dengan
mereka.
3.
Kepemimpinan
Permisif (laissez faire)
Pola kepemimpinan
laissez faire yakni gaya kepemimpinan dengan kendali bebas. Pola kepemimpinan
ini berasumsi bahwa suatu tugas disajikan kepada bawahan yang biasanya
menentukan teknik-teknik mereka sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam
rangka pencapaian sasaran-sasaran dan kebijakan organisasi. Pola kepemimpinan
laissez faire dapat juga disebut sikap membebaskan bawahan (Ayub, 1996).
Kelebihan pola
kepemimpinan permisif:
Bawahan dapat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya, serta mengembangkan rasa tanggung
jawab dalam dirinya.
Kelemahan pola
kepemimpinan permisif:
-
Atasan bersikap pasif dan kurang
memperhatikan kekurangan bawahan, tidak menutup kemungkinan hasil kerja dari
bawahan tersebut kurang baik.
-
Karena bawahan dipercaya untuk melakukan
suatu tugas khusus, banyak bawahan yang merasa dirinya sebagai orang yang
berkuasa.
-
Karena tugas yang seharusnya dikerjakan
oleh atasan ditimpakan kepada bawahannya, figur atasan itu sendiri menjadi
kurang berwibawa.
-
Kurangnya bimbingan dari atasan membuat
bawahan frustasi
-
Kurang pengawasan dari atasan sehingga
bawahan bersikap bebas dan bisa jadi terlalu bebas, dari situ dapat terjadi
penyimpangan peraturan dan salah tindak yang dapat mengakibatkan kekacauan.
-
Menghabiskan waktu jika bawahan yang
ditimpakan tugas khusus tersebut kurang berpengalaman